Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Tentang Syari'at Pembakaran

INQAD AL GHARIQ FI ITSBAT MASYRU’IYYAH AT TAHRIQ
Penetapan Syari’at Pembakaran.
Penulis: Syaikh Abu Mu’adz Al Maqdisiy As Salafiy
Alih Bahasa: Abu Sulaiman Al Arkhabiliy
Segala puji hanya bagi Allah saja, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi terakhir, wa ba’du:
Sungguh telah banyak perdebatan prihal masalah pembakaran si murtad Mu’adz Al Kasasbeh yang dilakukan oleh Daulah Islam, dan orang-orang-pun berbicara di dalam masalah ini tanpa dasar ilmu dan malah di atas dasar hawa nafsu dan kebodohan atau dalam rangka pelampiasan dendam kepada Daulah atau karena pemahaman yang salah terhadap dalil-dalil yang ada, kecuali orang yang dirahmati Allah dari kalangan orang-orang yang beriman dan mendapatkan petunjuk serta mengikuti As Salaf Ash Shalih.
Maka saya memandang untuk perlu ikut berbicara di dalam hal ini dalam rangka membuktikan kebenaran dan menggugurkan kebatilan serta menguatkan pendapat yang lurus in syaa Allah.
Di dalam risalah ini saya akan berbicara tentang dalil-dalil kebolehan pembakaran dengan api dalam rangka qishash dan pembalasan setimpal atau dalam rangka penebaran rasa takut, penjeraan dan pengambilan pelajaran atau pengunggulan mashlahat terhadap mafsadah.
Hamba yang faqir kepada Allah, pencari ilmu yang masih yunior Abu Mu’adz Al Maqdisiy As Salafiy -semoga Allah mengampuni dan meluruskannya- berkata:
Sesungguhnya hukum orang murtad “laki-laki” adalah dibunuh, ini telah menjadi ijma’ di kalangan para sahabat, tabi’in, ulama Islam dan fuqaha mereka, dan mereka tidak berselisih di dalamnya, sehingga ia termasuk urusan yang qath’iy baik dari sisi tsubut (keterbuktian) maupun dari sisidilalah, dan ia tergolong hal yang ma’lum secara pasti dari dienul Islam. Dan ijma ini telah dinukil oleh sejumlah ulama:
  1. Ibnu Abdil Barr berkata:
مَنْ ارْتَدَّ عَنْ دِيْنِهِ حَلَ دَمُهُ وَضُرِبَتْ عُنُقُهُ وَاْلاُمَّةُ مُجْتَمِعَةٌ عَلَى ذَلِكَ
“Barangsiapa murtad dari agamanya, maka halallah darahnya dan dipenggal lehernya, dan umat ini telah ijma’ atas hal itu.”
  1. Ibnu Qudamah berkata:
اَجْمَعَ أهْلُ العِلْمِ عَلَى وُجُوْبِ قَتْلِ اْلُمُرْتَدِّ
“Ahli Ilmu telah ijma’ atas kewajiban membunuh orang murtad.”
Bahasan Pertama
Dalil-dalil dari Al Qur’an Al Karim:
  1. Firman Alla Ta’ala:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
“Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (An Nahl: 126).
Ath-Thabariy berkata setelah menuturkan perkataaan para ulama di dalam ayat ini: “Pendapat yang benar di dalam hal itu adalah dikatakan: Sesungguhnya Allah Ta’ala Dzikruh telah memerintahkan orang mu’min yang disiksa dengan suatu siksaan agar membalas orang yang menyiksanya dengan balasan yang serupa, bila ia memilih untuk memberikan hukuman, dan Allah mengabarkan kepadanya bahwa sabar untuk tidak memberikan hukuman atas apa yang pernah dilakukannya adalah lebih baik, dan Dia menganjurkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam agar bersabar, dan yang demikian itu adalah dhahir makna ayat. Sedangkan pentakwilan-pentakwilan yang telah kami sebutkan dari orang-orang yang menyebutkannya adalah memiliki kemungkinan pada ayat itu. Dan bila masalahnya seperti itu dan di dalam ayat itu tidak ada dilalah yang menunjukkan kepada salah satunya baik secara khabar (dalil naqli) maupun akal, maka wajib atas kita adalah memutuskan dengan yang ada di dalam manthuq (dhahir yang ditegaskan) ayat itu yang tidak butuh dilalah terhadapnya; dan wajib dikatakan: Ia adalah ayat muhkamah yang di dalamnya Allah Ta’ala Dzikruhu memerintahkan hamba-hamba-Nya agar tidak melampaui apa yang yang menjadi hak mereka terhadap orang lain baik itu berupa harta maupun jiwa, yaitu tidak melampaui hak yang telah Allah jadikan bagi mereka, dan bahwa ayat ini tidak di-mansukh, karena tidak ada dilalah yang menunjukkan terhadap penasakhan-nya, dan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa ia itu muhkamah adalah memiliki penafsiran yang shahih lagi bisa dipahami.” Selesai.
Saya berkata: Sesungguhnya pembakaran si Mu’adz dan kaum musyrikin secara umum dalam rangka pembalasan setimpal itu adalah boleh lagi disyari’atkan, dikarenakan dia itu menjatuhkan bom-bom api dan bahan-bahan peledak kepada kaum muslimin dan membakar mereka dengannya. Makna ini dikuatkan oleh apa yang disebutkan oleh sebagian ulama di dalam sebab nuzul ayat ini; Ath Thabariy meriwayatkan di dalam Tafsir-nya: Ibnu Humed telah mengabarkan kepada kami, berkata: Salamah telah mengabarkan kepada kami, dari Muhammad Ibnu Ishaq, dari sebagian sahabatnya, dari ‘Atha ibnu Yasar, berkata: Surat An Nahl semuany diturunkan di Mekkah, jadi ia adalah Makkiyyah, kecuali 3 ayat di akhir Surat yang diturunkan di Madinah setelah perang Uhud, di mana Hamzah terbunuh dan dimutilasi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
لَئِنْ ظَهَرْنَا عَلَيْهِمْ لَنُمَثِّلَنَ ثَلَاثِيْنَ رَجُلًا مِنْهُمْ
“Sungguh seandainya kita menang atas mereka, maka kita benar-benar akan memutilasi 30 orang dari mereka.”
Maka tatkala kaum muslimin mendengar hal itu, maka mereka berkata: Demi Allah seandainya kita menang atas mereka, maka kami benar-benar akan memutilasi mereka dengan mutilasi yang tidak pernah dilakukan oleh seorang bangsa arab-pun sebelumnya kepada orang lain, maka Allah menurunkan:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
…”Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (An Nahl: 126). sampai akhir surat.” Selesai.
Saya berkata: Yaitu Allah telah melarang kaum muslimin dari melampaui batas di dalam memberikan sangsi, ini sangat nampak.
  1. Allah Ta’ala berfirman:
الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ ۚ فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Bulan haram dengan bulan haram, dan (terhadap) sesuatu yang dihormati berlaku hukum qishash. Oleh sebab itu barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (Al Baqarah: 194).
Al Qurthubiy berkata di dalam Tafsir-nya:
“Ketujuh: Tidak ada perselisihan di antara ulama bahwa ayat ini adalah landasan pokok di dalam pemberian hukuman setimpal di dalam qishash, di mana barangsiapa membunuh (orang dengan sesuatu, maka dia dibunuh (qishash) dengan hal yang serupa, ini adalah pendapat jumhur, selagi dia tidak membunuhnya dengan kefasiqan seperti disodomi dan dengan pemberian minum khamr, maka dia dibunuh dengan pedang. Ulama-ulama madzhab syafi’iy memiliki pendapat: sesungguhnya dia itu dibunuh dengan cara itu juga, di mana diambil dahan kayu semisal itu kemudian ditusukan ke duburnya sampai mati, dan sebagai pengganti khamr maka dia diminumin air sampai mati. Ibnu Al Majisyun berkata: Sesungguhnya orang yang membunuh dengan api atau dengan racun, maka ia tidak dibunuh (qishash) dengannya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak mengadzab dengan api kecuali Allah,” sedangkan racun itu adalah api tersembunyi. Namun JUMHUR ulama berpendapat bahwa dia dibunuh (qishash) dengan hal itu juga (api dan racun) berdasarkan keumuman ayat itu.
Kemudian beliau – yaitu Al Qurthubiy – berkata; dalam rangka membantah orang yang melarang pembasalan setimpal di dalam qishash;
وَقَوْلُهُ: لُا يُعَذِّبُ بِالنَارِ اِلاَّ رَبُ النَّارِ صَحِيْصٌ اِذَا لَمْ يُحْرِقُ، فَإنْ حَرَقَ حُرِقَ، يَدُلُّ عَلَيْهِ عُمُوْمُ القُرْآنِ. قَالَ الشَافِعِيْ: اِنْ طَرَحَهُ فِي النَارِ عَمْدًا طَرَحَهُ فِي النَارِ حَتَّى يَمُوْتُ، وَذَكَرَهُ الوَقَّارُ فِي مُخْتَصَرِهِ عَنْ مَالِكٍ، وَهُوَ قَوْلُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدُ اْلحَكَمِ. ا هـ
“Dan sabdanya: Tidak mengadzab dengan api kecuali Pemilik api” adalah benar bila si pembunuh itu tidak membakar, namun bila dia itu membakar maka dia dibakar juga, dan dalilnya adalah keumuman Al Qur’an. Asy Syafi’iy berkata: Bila dia melemparkannya ke dalam api maka dia dibalas dengan dilemparkan juga ke dalam api sampai mati. Dan (pendapat) itu disebutkan juga oleh Al Waqqar di dalam Mukhtashar-nya dari Malik, dan ia adalah pendapat Muhammad Ibnu Abdil Hakam.” Selesai.
Bahasan Kedua:
Dalil-Dalil Dari As Sunnah:
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
أثْقَلُ الصَّلَاةِ عَلَى المُنَاِفقِيْنَ : صَلَاةُ العِشَاءِ ، وَصَلاةُ الفَجْرِ . وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِيْهَا لَأتَوْهُمَا وَلَو حَبْوًا . وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَلاةِ فَتُقَامُ ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّي بِالنَاِس ، ثُمَّ أنْطَلِقُ مَعِيْ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حِزَمُ مِنْ حَطَبٍ إلَى قَوْمِ لَا يَشْهَدُونَ الصلاة ، فأحرق عليهم بيوتهم بالنار.
“Sesungguhnya shalat yang paling berat atas kaum munafiqin adalah shalat ‘Isya dan shalat Fajar, dan seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada di dalam kedua shalat itu tentu mereka mendatanginya walaupun dengan merangkak. Dan sesungguhnya aku telah berniat untuk memerintahkan shalat untuk didirikan, kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dengan manusia, kemudian aku pergi dengan sejumlah orang-orang yang membawa kayu bakar menuju orang-orang yang tidak ikut menghadiri shalat, kemudian aku bakar rumah mereka atas diri mereka.”(Riwayat Muslim dalam Al Masajid 1/451-452).
Hadits ini menunjukan dengan jelas lagi gamblang atas kebolehan membakar dengan api dalam rangka pemberian hukuman fisik dan harta. Sedangkan orang-orang yang dimaksudkan di dalam hadits itu adalah sejumlah orang-orang munafiq, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin membakar mereka dengan api di saat mereka berada di dalam rumah-rumah mereka dikarenakan mereka absen dari shalat berjama’ah, seandainya tidak ada para isteri dan anak-anak mereka yang ada di dalam rumah-rumah itu tentu beliau melakukannya, jadi ketidak jadian beliau dari membakar itu adalah karena faktor luar, ini ditunjukan oleh riwayat Ahmad di dalam Al Musnad:
لولا ما في البيوت من النساء و الذرية، لاقمت صلاة العشاء وأمرت فتياني يحرقون ما في البيوت بالنار
“Seandainya di rumah-rumah itu tidak ada para wanita dan anak-anak, tentu aku dirikan shalat ‘Isya dan aku perintahkan para pembantuku untuk membakar apa yang ada di rumah-rumah itu dengan api.”
Riwayat hadits ini isnadnya diperbincangkan oleh sebagian ulama, akan tetapi maknanya adalah benar.
Tapi yang menjadi bukti dalil dari hadits ini adalah bahwa kemurtaddan, syirik, pembakaran kaum muslimin dan pembunuhan mereka itu adalah lebih besar dosanya daripada meninggalkan shalat berjama’ah. Bila ini adalah sangsinya bagi yang tidak berjama’ah, maka tentu mereka itu adalah lebih berhak untuk dibakar sebagai sangsi bagi mereka dan sebagai penjera bagi yang lainnya. Dan inilah yang dilakukan Daulah Islam terhadap pilot murtad itu, di mana Daulah memberikan balasan yang setimpal baginya dan menjadikannya pelajaran bagi yang lain.
  1. Al Bukhariy meriwayatkan di dalam Shahihnya, berkata: Telah mengabari kami Musa ibnu Ismail dari Wuhaib dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas radliyallahu ‘anhu, berkata:
قدم رهط من عكل على النبي صلى الله عليه وسلم كانوا في الصفة، فاجتووا المدينة، فقالوا: يا رسول الله، أبغنا رسلا، فقال: ما أجد لكم إلا أن تلحقوا بإبل رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأتوها فشربوا من ألبانها وأبوالها حتى صحوا وسمنوا، وقتلوا الراعي، واستاقوا الذود، فأتى النبي صلى الله عليه وسلم الصريخ، فبعث الطلب في آثارهم، فما ترجل النهار حتى أتي بهم، فأمر بمسامير فأحميت، فكحلهم، وقطع أيديهم وأرجلهم وما حسمهم، ثم ألقوا في الحرة يستسقون، فما سقوا حتى ماتوا. قال أبو قلابة: سرقوا، وقتلوا، وحاربوا الله ورسوله”
“Telah datang sekelompok orang dari suku ‘Ukl kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka itu dahulu ada di Shuffah, namun mereka tidak cocok dengan udara Madinah, kemudian mereka berkata: Wahai Rasulullah carikan buat kami unta-unta,” maka beliau berkata: Aku tidak mendapatkan buat kalian kecuali kalian mendatangi unta-unta Rasulullah, maka merekapun mendatanginya dan kemudian meminum dari air susunya dan dari kencingnya sampai mereka sehat dan gemuk kembali, dan mereka terus membunuh si penggembalanya dan mereka menggiring unta-unta itu, maka sampailah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang memberikan kabar, maka beliau mengirim orang-orang untuk mengejar mereka, dan di siang harinya mereka berhasil didatangkan, maka beliau memerintahkan agar paku-paku dipanaskan dan kemudian beliau tusuk mata mereka dengannya, dan beliau potong tangan dan kaki mereka dan beliau biarkan darah mereka mengalir keluar kemudian beliau lemparkan mereka di Harrah (tempat tandus di Madinah, pent), mereka meminta minum kehausan namun merek tidak diberikan minum sampai mati. Abu Qilabah berkata: Mereka itu mencuri dan membunuh serta memerangi Allah dan Rasul-Nya.”
Dilalah dari hadits ini:
  1. Wajibnya pemberian setimpal, sebagaimana yang dilakukan terhadap ‘Uraniyyin, di mana mereka itu seaandainya membakar si penggembala maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membakarnya juga, hal itu ditunjukkan oleh mafhum hadits itu.
  2. Bahwa beliau memerintahkan untuk men-saml atau beliau men-saml mata mereka, maka hal itu dilakukan, sedangkan saml adalah menusuk mata dengan paku atau dengan besi panas, dan ini dianggap sebagai pembakaran, sedangkan kebolehan pembakaran sebagian anggota badan itu tidak menghalangi dari kebolehan pembakaran seluruh anggota badan.
‘Iyadl berkata: Samara al ‘aina adalah kahalahaa bil mismaar al mahmiy (mencelakinya dengan paku panas) sehingga ia semakna dengan saml, di mana ia itu ditafsirkan dengan mendekatkan besi panas pada mata sampai lenyap pandangannya, sehingga ia selaras dengan yang pertama yaitu si besi itu berbentuk paku.” Selesai.
  1. Sesungguhnya beliau shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan agar mereka dilemparkan di Harrah dan dibiarkan tanpa diberi minum dan beliau tidak memerintahkan sahabat untuk meng-hasm tangan dan kaki yang dipotong (hasm adalah menutup luka dengan cara dicelupkan ke dalam minyak panas supaya darah berhenti dan uratnya tertutup, pent), karena beliau memang ingin membinasakan mereka. Orang yang mencermati ini bisa memahami bahwa ini adalah siksaan yang dasyat yang melebihi pembakaran bila dilakukan perbandingan. Di mana di hadapan kita ada dua siksaan, yaitu siksaan yang menyakitkan yang sebentar yaitu pembakaran, dan siksaan yang lebih rendah sakitnya akan tetapi berlangsung lama, sehingga dengan ini yaitu apa yang diperlakukan kepada ‘Uraniyyin berupa siksaan yang lama adalah lebih dasyat dari membakar mereka, yaitu siksaan yang sebentar. Cermatilah, semoga Allah menjagamu.
Bahasan Ketiga:
Perbuatan Para Sahabat:
  1. Ath-Thabraniy di dalam Al Kabir (20/43) meriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ariy, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusnya bersama Mu’adz ibnu Jabal ke Yaman, di mana beliau memerintahkan mereka untuk mengajarkan Al Qur’an kepada manusia. Maka Mu’adz datang kepada Abu Musa dalam rangka ziarah, ternyata di sisinya ada seorang pria yang diikat dengan besi, maka ia berkata: Wahai saudaraku, apakah kita diutus untuk menyiksa manusia ataukah kita diutus untuk mengajari mereka dan memerintahkan mereka melakukan hal yang bermanfaat? Maka ia berkata kepadanya: Dia itu masuk islam terus kafir lagi,” maka ia berkata:
والذي بعث محمدا بالحق، لا أبرح حتى أحرقه بالنار، فقال أبو موسى: أن لنا عنده بقية، قال: والله لا أبرح أبدا، فاتى بحطب فألهبليت فيه النار وطرحه
“Demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan Al Haq, saya tidak akan beranjak sampai saya membakarnya dengan api.” Maka Abu Musa berkata: Sesungguhnya kami masih punya sisa hak padanya,” Mu’adz berkata: Demi Allah saya tidak akan beranjak selamanya.” Ia berkata: Maka didatangkan kayu bakar terus dinyalakan api padanya dan orang itupun dilemparkan.”
Al Haitsamiy berkata di dalam Al Majma’ (6/399): Para perawinya adalah para perawi Ash Shahih.
Al Hafizh berkata di dalam Al Fath (12/274): “Dan diambil faidah darinya bahwa mereka berdua berpendapat bolehnya menyiksa dengan api dan membakar mayit dengan api dalam rangka menghinakannya dan dalam rangka membuat yang lain takut dari mencontohnya.
  1. Al Bukhariy meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas:
أن اناسا ارتدوا على عهد علي – رضي الله عنه – فأحرقهم بالنار، فبلغ ذلك ابن عباس – فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم لنهي رسول الله صلى الله عليه وسلم ((لا تعذبوا بعذاب الله)) ولقتلتهم كما قال النبي صلى الله عليه وسلم ((من بدل دينه فاقتلوه))
“Bahwa sejumlah orang menjadi murtad pada masa Ali – radliyallahu ‘anhu – maka ia membakar mereka dengan api, maka hal itu sampai kepada ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu, maka ia-pun berkata: “Seandainya aku tentu tidak membakar mereka; karena larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ((Jangan kalian mengadzab dengan adzab Allah)) dan tentu aku membunuh mereka mereka sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ((Siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia)).
Kemudian tatkala sampai kepada Ali Al Khalifah Ar Rasyid radliyallahu ‘anu pengingkaran Ibnu ‘Abbas atas pembakaran murtaddun itu dengan alasan larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mengadzab dengan adzab Allah, maka Ali tidak menghiraukannya, namun justeru beliau terus melanjutkan pembakaran orang-orang kafir hingga akhir usianya, dan Ali radliyallahu ‘anhu mengingkari ucapan Ibnu ‘Abbas itu saat sampai kepadanya dengan ucapannya:
ويح ابن عباس
“Kasian Ibnu ‘Abbas.” (Diriwayatkan oleh Ad Daruquthniy di dalam Sunan-nya (3/108) dengan isnad yang shahih, dan teksnya pada Ahmad di Musnad-nya (1/282):
ويح ابن أم عباس
“Kasian anak ibu Ibnu ‘Abbas.”
Al Baihaqiy meriwayatkan di dalam Sunan-nya (6/254) dengan isnad shahih dari Abu Umar Asy Syaibaniy:
 أن عليًا أتي بالمستورد العجلي وقد ارتد فقتله، فأعطاه النصارى بجيفته ثلاثين ألفا، فأبى أن يبيعهم إياه و أحرقه
“Bahwa Ali didatangkan Al Mustaurid Al ‘Ijliy di mana ia itu telah murtad, maka Ali membunuhnya, terus orang-orang Nashrani mau memberikan (uang) 30 ribu kepada Ali dengan penyerahan mayatnya (kepada mereka), maka Ali menolak menjualnya kepada mereka dan beliau membakarnya.”
  1. Begitu juga Ali radliyallahu ‘anhu telah membakar orang-orang Saba-iyyah:
Ibnu Hajar berkata: Abdullah ibnu Saba adalah tergolong ghulah az zanadiqah… dia memiliki banyak pengikut yang dinamakan Saba-iyyah yang meyakini ketuhanan pada Ali ibnu Abi Thalib, dan Ali telah membakar mereka pada masa kekhilafahannya. (Lisanul Mizan, 3/289-290)
Bahasan Keempat:
Pernyataan Para Ulama Tentang Pembakaran:
  1. Badruddien Al ‘Ainiy berkata di dalam ‘Umdatul Qariy Syarh Shahih Al Bukhariy:
قال الداودي: إحراق علي رضي الله تعالى عنه الزنادقة ليس بخطأ؛ ﻷ‌نه – صلَّى اللَّه عليه وسلَّم – قال لقوم: ((إن لقيتم فﻼ‌نا وفﻼ‌نا فأحرقوهم بالنار)) ثم قال ((إن لقيتموهما }فاقتلوهما فإنه ﻻ‌ ينبغي أن يعذب بعذاب الله)) ولم يكن يقول في الغضب والرضا إﻻ‌ حقا قال الله تعالى {وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
“Ad Dawudiy berkata: Pembakaran Ali radliyallahu ‘anhu terhadap zanadiqah itu tidaklah salah, dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada suatu kaum ((Bila kalian menjumpai si fulan dan si fulan maka bakarlah mereka itu dengan api)) kemudian beliau berkata ((Bila kalian menjumpai mereka, maka bunuhlah mereka, karena tidak sepantasnya mengadzab dengan adzab Allah)), beliau itu tidak mungkin berkata pada kondisi marah dan ridlo kecuali kebenaran, Allah Ta’ala berfirman “Dan dia tidak berkata dari hawa nafsunya”.
  1. Al Imam Asy Syaukaniy berkata di dalam Nailul Authar (7/271): “Salaf telah berselisih tentang pembakaran, di mana hal itu tidak disukai secara muthlaq oleh Umar, Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya, baik karena sebab kekafiran atau pada kondisi berperang atau pada qishash. Namun hal itu dibolehkan oleh Ali, Khalid Ibnul Walid dan yang lainnya. Al Muhallab mengatakan: Larangan ini bukan bermakna pengharaman akan tetapi dalam rangka tawadlu’, dan kebolehan pembakaran ini telah telah ditunjukkan oleh perbuatan para sahabat, dan Nabi pun telah mencolok mata orang-orang ‘Uraniyyin dengan besi (panas) sebagaimana yang lalu, dan Abu Bakar juga telah membakar dengan api di hadapan para sahabat, dan Khalid ibnul Walid telah membakar banyak orang murtad, dan demikian juga Ali telah membakar sebagaimana yang telah lalu di dalam Kitab Al Hudud.
  2. Al ‘Ainiy berkata di dalam ‘Umdatul Qariy Syarh Shahih Al Bukhariy:
“Mayoritas ulama Madinah membolehkan pembakaran benteng berikut para penghuninya dengan api, dan mayoritas mereka juga berpendapat bolehnya membakar kapal-kapal. Ini semuanya menunjukkan bahwa makna hadits itu adalah dalam rangka nadb (anjuran). Dan di antara yang tidak menyukai pelemparan orang-orang musyrik dengan api adalah Umar, Ibnu ‘Abbas dan ibnu Abdil Aziz, dan ia adalah pendapat Malik. Namun hal itu dibolehkan oleh Ali, dan bahkan Khalid ibnul Walid radliyallahu ‘anhu telah membakar banyak orang murtad, maka Umar berkata kepada Abu Bakar Ash Shiddiq:
“انزَعْ هذا الذي يعذب بعذاب الله”
“Copot orang yang menyiksa dengan siksaan Allah ini.” Maka Ash Shiddiq berkata:
“ﻻ‌ أنزَعُ سيفًا سلَّهُ الله على المشركين”
“Aku tidak akan mencopot pedang yang telah Allah hunuskan kepada kaum musyrikin.”
Ats Tsuriy telah membolehkan melempar benteng dengan api. Al Auza’iy berkata: Tidak apa mereka diasapi di dalam benteng bila di dalamnya tidak ada orang selain orang-orang yang bisa berperang, mereka dibakar dan dibunuh dalam setiap peperangan, dan bila kita jumpai mereka di laut maka kita sembur mereka dengan minyak dan cairan besi panas. Ibnu Al Qasim membolehkan menembaki benteng dan kapal-kapal dengan api bila di dalamnya tidak ada kecuali orang-orang yang bisa berperang saja.” Selesai.
  1. Telah berkata Abu Al Walid Al Bajiy Al Malikiy, Ibnu Jauziy, Al Hafidh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (2/57), dan juga Al Hafidh ibnu Hajar di dalam Al Fath (1/341) berkata seraya menyebutkan faidah-faidah hadits itu: “Dan di dalamnya ada kebolehan perlakuan setimpal di dalam qishash, dan hal itu sama sekali tidak tergolong mutslah (mutilasi) yang dilarang.”
Kemudian bila kami mengatakan: bahwa larangan pembakaran dan mutilasi itu bermakna haram, maka sesungguhnya itu adalah dalil larangan umum yang dikhususkan dengan kebolehan keduanya dalam rangka pembalasan setimpal.
  1. Al Imam Ahmad berkata:
“إن مَثَّلوا مُثِّل بهم”
“Bila mereka memutilasi maka mereka juga dimutilasi.”(Dinukil oleh Ibnu Muflih di dalam Al Furu’).
  1. Al Bukhariy berkata di dalam Shahih-nya:
 “باب: إذا حَرق المشركُ المُسلمَ هل يُحرق؟”.
“Bab: Bila orang musyrik membakar orang muslim, apakah dibakar?”
Ibnu Hajar berkata di dalam Al Fath (2/447):
“كأنَّه أشار بذلك إلى تخصيص النَّهْيِ فِي قوله: ((ﻻ‌ يُعذَّب بعذاب الله)) إذا لم يكن ذلك على سبيل القصاص”.
“Seolah beliau dengan hal itu mengisyaratkan kepada pengkhususan larangan di dalam sabdanya ((Tidak mengadzab dengan adzab Allah)) itu bila hal itu bukan dalam rangka qishash.”
  1. Syaikhul Islam berkata di dalam Al Fatawa (28/314):
”أمَّا التَّمثيل في القتل، فﻼ‌ يجوز إﻻ‌ على وجه القصاص، وقد قال عمران بن حصين – رضي الله عنه -: ما خطبنا رسول الله خطبةً إﻻ‌ أمَرَنَا بِالصدقة ونهانا عنِ المُثْلة، حتَّى الكُفَّار إذا قتلناهُم فإنَّا ﻻ‌ نمثِّلُ بهم وﻻ‌ نجدِّع آذانَهم وﻻ‌ نبقَرُ بطونَهم، إﻻ‌ أن يكونوا فعلوا ذلك بنا فنفعل بهم ما فعلوا، والترك أفضل كما قال تعالى؛ {وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ} [النحل: 126] قيل: إنَّها نَزَلَتْ لمَّا مثَّل المشركون بحمزةَ وغيرِه من شهداء أُحُد، فقال: ((لئن ظفرني الله بهم ﻷ‌مثِّلن بضِعْفَيْ ما مثلوا بنا))، فأنزل الله هذه اﻵ‌ية، وإن كانت قد نزلت قبل ذلك بمكة… ثم جرى بالمدينة سببٌ يقتضي الخطاب فأنزلت مرة ثانية، فقال النبي – صلى الله عليه وسلم -: ((بل نَصْبِرُ
“Adapun tamtsil (pemutilasian) di dalam membunuh, maka itu tidak boleh kecuali dalam rangka qishash. Sesungguhnya ‘Imran ibnu Hushain radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah tidak memberikan ceramah kepada kami kecuali beliau selalu memerintahkan kami untuk bershadaqah dan melarang kami dari melakukan mutilasi, termasuk orang-orang kafir bila kita membunuh mereka maka kita tidak boleh memutilasi mereka dan kita tidak memotong telinga-telinga mereka serta merobek perut-perut mereka, kecuali bila mereka melakukan hal itu kepada kita, maka kita melakukan hal serupa kepada mereka, sedangkan meninggalkannya adalah lebih utama, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (An Nahl: 126). Ada yang mengatakan: Sesungguhnya ayat itu turun tatkala kaum musyrikin memutilasi Hamzah dan syuhada Uhud lainnya, maka beliau berkata: ((Bila Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk menguasai mereka, maka aku benar-benar akan memutilasi mereka dua kali lipat dari apa yang mereka lakukan)). Maka Allah menurunkan ayat ini, dan bila ia itu telah turun sebelum itu di Mekkah kemudian di Madinah terjadi lagi suatu sebab yang menuntut untuk diberikan penjelasan maka ayat itu diturunkan sekali lagi, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ((Namun kita bersabar saja)).
Bahasan Kelima:
Bila Mashlahat Menuntut Untuk Dilakukan Tamtsil (Mutilasi) Yang Di Antaranya Itu Membakar Kaum Murtaddin Dan Musyrikin, Maka Hal Itu Boleh Dilakukan.
  1. Ibnu Qudamah berkata di dalam Al Mughniy (20/262) di saat berbicara tentang melemparkan kepala orang kafir dengan manjaniq setelah ia dipotong: “Dimakruhkan melemparkannya dengan manjaniq, hal itu ditegaskan oleh Ahmad, dan bila mereka melakukan hal itu mashlahat maka boleh; berdasarkan apa yang kami riwayatkan bahwa ‘Amr Ibnu Al ‘Ash radliyallahu ‘anhu di saat mengepung Iskandariah maka seorang pria muslim berhasil ditangkap (musuh) dan mereka mengambil kepalanya, maka kaumnya datang kepada ‘Amr seraya marah, maka ‘Amr berkata kepada mereka: Tangkaplah seorang dari mereka terus potong lehernya dan lemparkan ke arah mereka dengan memakai manjaniq, kemudian mereka-pun melakukan hal itu, maka penduduk Iskandariyah-pun akhirnya mengembalikan kepala orang muslim kepada kaumnya.
  2. Penulis Syarh Muntahal Iradat berkata 1/625: “Dan dimakruhkan melempar kepala dengan manjaniq tanpa ada mashlahat, karena ia itu tamtsil. Ahmad berkata: “Dan tidak sepantasnya mengadzabnya.” Bila ada mashlahat di dalamnya seperti tambahan di dalam jihad atau pukulan bagi mereka atau penjeraan dari sikap aniaya, maka boleh; karena ia adalah tergolong penegakkan hudud dan jihad yang disyariatkan, hal itu dikatakan oleh Taqiyyuddien – yaitu Ibnu Taimiyyah -.”
  3. Al Majdu Ibnu Taimiyyah berkata di dalam Al Muntaqa (3/321) dalam Kitab Jihad: Bab” Menahan diri dari memutilasi, membakar, menebang pohon dan menghancurkan bangunan kecuali untuk hajat dan mashlahat.”
  4. Ibnu ‘Abidin berkata di dalam Hasyiyah-nya (4/131): Dan membatasi kebolehan memutilasi sebelumnya – yaitu sebelum bisa mendapatkan kemenangan – di dalam Al Fath – “Fathul Qadir” – dengan kondisi bila itu terjadi di saat perang tanding, seperti orang yang perang tanding memukul sehingga memotong telinganya, kemudian menebas sehingga matanya bocor, kemudian menebas lagi sehingga terpotong tangan dan hidungnya serta yang serupa itu. Dan ini sangat jelas pada kondisi bila dia berhasil menyerang musuh di saat terjadi peperangan maka dia tidak boleh memutilasi namun ia cukup membunuhnya. Dan sesuai tuntutan apa yang ada di dalam kitab Al I’tibar bahwa hal itu boleh baginya, bagaimana tidak sedangkan ia telah diberikan alasan bahwa hal itu lebih telak di dalam melemahkan mereka dan di dalam menimpakkan kesusahan kepada mereka.”
As Sarkhasiy berkata di dalam Syarahnya terhadap Siyar Muhammad Ibnu Al Hasan 1/137: “Mayoritas guru-guru kami rahimahumullah memandang bahwa bila di dalam hal itu terdapat unsur pukulan telak dan pendongkolan kaum musyrikin atau kelegaan hati kaum muslimin, umpamanya si yang terbunuh itu adalah tergolong panglima kaum musyrikin atau pembesar yang sangat menonjol, maka tidak apa-apa.
  1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata di dalam Al Fatawa 5/545:” Mutilasi itu adalah hak bagi mereka, di mana mereka boleh menuntutnya dan mengambil pembalasan, dan boleh juga mereka meninggalkannya, sedangkan sabar adalah lebih utama. Ini bila pada mutilasi mereka itu tidak ada tambahan (kedasyatan) pada jihad, dan tidak penjeraan bagi mereka dari melakukan hal serupa. Adapun bila pada pemutilasian yang tersiar itu terdapat pengajakan mereka untuk beriman atau penjeraan dari sikap aniaya, maka ia pada kondisi seperti itu adalah termasuk penegakkan hudud dan jihad yang disyari’atkan, dan masalah ini tidak ada pada perang Uhud juga; oleh sebab itu bersabar adalah lebih baik. Adapun bila mutilasi itu haq Allah Ta’ala, maka sabar di sini adalah wajib, sebagaimana ia wajib bila tidak mungkin menang dan haram berkeluh kesah.”
Dan berkata juga: “Sesungguhnya syari’at ini telah datang dengan membawa peraihan mashlahat dan penyempurnaannya, dan pengguguran mafsadah dan peminimalannya dan bahwa syari’at ini mengunggulkan hal terbaik dari dua hal yang baik dan hal terburuk dari dua hal yang buruk, dan peraihan mashlahat terbesar dari dua mashlahat dengan meninggalkan yang paling rendah, dan menolak mafsada terbesar dari dua mafsadah dengan memikul yang paling ringan.”
Dan berkata: “Syari’at ini selalu mengunggulkan hal terbaik dari dua hal yang baik dengan meninggalkan yang paling rendah, dan menolak keburukan terbesar dari dua keburukan dengan mengambil yang paling rendah.” Selesai.
Abu Mu’adz semoga Allah memaafkannya berkata: “Sesungguhnya mashlahat tertinggi itu menuntut pembakaran pilot Yordania yang murtad, maka mereka membakarnya, sedangkan mashlahatnya adalah penjeraan yang lain, penteroran musuh dan menyulitkannya serta penampakkan kekuatan kaum muslimin bahkan melegakkan dada kaum mu’minin.
Ini yang bisa saya kupas, saya simpulkan, saya berikan catatan terhadapnya serta berdalil dengannya. Semua itu dengan taufiq dan pemudahan dari Allah, saya memohon kepada Allah untuk memberikan karunia ikhlas bagi saya, dan menjadikan amalan ini manfaat bagi saya dan kaum muslimin, serta menjadikannya sebagai pembelaan bagi Daulah Islam.
Saudara kalian: Abu Mu’adz Al Maqdisiy As Salafiy semoga Allah mengampuni dosa-dosanya.
Wallahul Muwaffiq.
Penulis: Syaikh Abu Mu’adz Al Maqdisiy As Salafiy
4/2/2015
______________________
Selesai diterjemahkan: Abu Sulaiman 
WWW.MILLAHIBRAHIM.WORDPRESS.COM

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar