Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Mengenal Manhaj Khilafah yang didirikan ISIS dan Penjelasannya

Tentu saja kaum muslimin akan bertanya, seperti apakah manhaj kekhilafahan yang baru saja berdiri ini. Apakah ia ahlusunnah, syiah, khawarij, mu’tazilah, salafy, atau yang lainnya?. Maka sesungguhnya inilah jawaban resmi yang dikeluarkan oleh Daulah Islam.

1. Kami memandang wajibnya menghancurkan tempat-tempat syirik dan perantara syirik Tempat-tempat syirik dan perantara yang dapat menghantarkan pada kesyrikan memang wajib dihancurkan, hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: 

“Janganlah kamu biarkan satu patung pun melainkan harus kamu hancurkan, jangan pula kubur yang ditinggikan melainkan harus kamu ratakan.“ (HR. Muslim)

Jika kuburan yang ditinggikan saja wajib dihancurkan maka kuburan-kuburan yang lebih dari itu lebih wajib dihancurkan. Misalnya kuburan-kuburan keramat, yang mana kebanyakan adalah kuburan orang shalih namun yang mengaku-ngaku pengikutnya membuatkan bangunan diatas kuburannya, sehingga didalamnya orang bisa berbuat bid’ah dan syirik, maka ini wajib dihancurkan dan dikembalikan sebagaimana kuburan biasa. Yaitu rata dengan tanah lainnya ataupun boleh ditambah hanya satu jengkal.

Imam Asy-Syafi’i berkata,”Aku menyukai kalau tanah kuburan itu sama dari yang lain, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar satu jengkal”

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban)

2. Syiah Rafidhah adalah kelompok syirik dan murtad, bersamaan dengan itu mereka menolak menerapkan syariat yang nampak.

Mengenai kafirnya syiah rafidhah, maka hal ini sudah sangat jelas sekali. Syiah rafidhah melebih-lebihkan dalam memuja Ali bin Abi Thalib dan mencela kebanyakan sahabat Nabi SAW dan juga mencela istri-istri beliau (kecuali khadijah). Ulama salaf telah sepakat bahwa mencela para sahabat, terutama khulafa rasyidin adalah kekafiran yang nyata. Allah SWT jelas-jelas memuji para sahabat Nabi SAW:

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Fath: 29)

Syiah rafidhah adalah kaum yang telah mencela para sahabat nabi SAW dan bahkan mengkafirkan mereka. Salah satu buku induk ajaran Syi’ah yaitu karangan ulama besar mereka, Al Kulaini menyebutkan riwayat dari Ja’far, “Manusia (para sahabat) telah murtad setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali tiga orang.” Aku berkata, “Siapa saja tiga orang tersebut?” Disebutkan, “Al Miqdad bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifari dan Salman Al Farisi”. (Furu’ Al Kaafi, Al Kulaini, hal. 115)

Pada hari ini juga sangat tampak permusuhan syiah terhadap kaum muslimin (ahlusunnah wal jamaah). Hal ini terlihat di negri-negri yang mana mereka berhasil mendominasi atau memimpinnya, seperti di Iran, Irak, Suriah dan Yaman. Maka tak diragukan lagi bahwa mereka adalah kafir harbi fi’lan (kafir yang memerangi kaum muslimin dengan nyata).

3. Kami memandang kafirnya penyihir dan wajib menghukum mati para penyihir yang terbukti dan tidak diterima taubatnya dalam hukum dunia setelah tertangkap.

Sihir yang dimaksud adalah penggunaan jimat, mantra, dan lain sebagainya yang dengan itu bekerja sama dengan jin atau setan untuk mencelekai orang lain. Hukuman yang diberikan kepada penyihir tidak lain adalah hukuman mati. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

“Bahwa hukuman terhadap seorang penyihir adalah dibunuh dengan pedang” (HR. At Tirmizi)

Dari Bajalah bin Ubadah berkata: “Umar memerintahkan untuk membunuh para penyihir baik laki-laki maupun perempuan”. Bajalah berkata: “lalu kami hukum mati tiga orang penyihir”. (HR. Bukhori)

4. Kami tidak mengkafirkan seorang muslim yang shalat menghadap kiblat, meskipun berdosa seperti berzina, minum khamr dan mencuri selama dia tidak menghalalkannya. Perkataan kami tentang iman adalah pertengahan diantara khawarij yang berlebih-lebihan dan murjiah yang menyianyiakan amal. Barangsiapa bersyahadat dan belum melakukan hal yang membatalkan keimanan maka kami bergaul dengannya sebagai orang islam, adapun hatinya maka diserahkan kepada Allah. Sesungghuhnya kufur itu ada dua, kufur kecil dan kufur besar dan hukumnya jatuh kepada yang mengikuti melakukannya secara meyakininya dalam hati atau perkataannya atau perbuatannya. Tapi mengkafirkan salah satu dari mereka secara personal dan menghukuminya dengan kekal di neraka terhenti pada penerapan syarat dan penghalang takfir tersebut.

Dari point diatas dapat disimpulkan bahwa Khilafah atau Daulah Islam adalah murni ahlusunnah wal jamaah. Khilafah jauh dari bersikap ekstrim seperti khawarij (yang mengkafirkan pelaku dosa besar) dan juga tidak meremehkan akibat perbuatan dosa seperti Murji’ah. 

Allah SWT berfirman:

 Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqarah: 143)

Sikap Khilafah yang tidak mengkafirkan pelaku dosa besar, tapi menghukumnya sesuai syariat adalah sikap yang tepat. Hal ini menegaskan bahwa khilafah bukanlah khawarij seperti yang dituduhkan oleh beberapa orang. Dalil tentang tidak kafirnya orang yang melakukan dosa besar (kecuali syirik) adalah firman Allah SWT:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisa: 48)

5. Kami memandang wajib berhukum dengan syariat Allah dalam mengangkat perkara di Mahkamah Syariah di Daulah Islam, dan mencarinya (berijtihad) ketika tidak mengetahui (hukumnya dalam syariat islam). Sementara berhukum kepada thaghut dari UUD dan aturan suku, dsb, termasuk dari pembatal islam.

Mekanisme diatas adalah mekanisme peradilan islam. Yakni seluruh perkara wajib diputuskan berdasarkan Al-Qur;an, dan jika tidak ada di dalam Al-Qur’an maka diputuskan dengan Hadits atau Sunnah, dan jika tidak ada maka menggunakan ijtihad. Lebih jauh tentang bagaimana mekanisme peradilan islam, maka hal tersebut telah diajarkan oleh Rasulullah SAW:

Dari Mu’adz bin Jabal ra, bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Ya Mu’adz bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?” “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah”, jawab Mu’adz.

Nabi SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?” Mu’adz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunnah RasulNya”

Lalu Nabi SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul, bagaimana?” Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad tanpa ragu sedikitpun.”

Mendengar jawaban itu, Nabi Muhammad SAW lalu meletakkan kedua tangannya ke dada Mu’adz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya.” (HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud)  

Hanya dengan itulah peradilan islam diputuskan, maka seorang hakim (Qadhi) wajib seorang yang paham tentang fiqh islam. Sementara memutuskan perkara dengan selain diatas maka hal tersebut adalah perbuatan kufur, zalim, dan fasik (sangat dicela) karena telah berhukum dengan selain hukum Allah.

6. Kami memandang wajib menghormati Nabi Muhammad SAW  dan haram mendahului didepan keputusan beliau, kekufuran dan kemurtaddan bagi siapapun yang mencela kedudukannya yang mulia atau kedudukan ahlul bait (keluarga Nabi SAW / bani hasyim) yang suci dan para sahabatnya yang baik dari 4 khulafa rasyidin dan seluruh sahabat dan keluarga beliau.

Nabi Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul terakhir yang risalahnya tetap berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak ada istilah kadaluarsa bagi ajaran yang dibawa oleh beliau, barangsiapa yang mencela ajaran beliau maka orang tersebut telah murtad dari islam. Dilarang pula mendahului beliau SAW dalam memutuskan perkara, apa yang telah menjadi keputusan Rasulullah SAW maka hal tersebut wajib didahulukan dibandingkan dengan keputusan manusia lainnya. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Hujurat: 1)

Maksud ayat tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhum dalam riwayat ‘Ali bin Abu Thalhah berkata, “Janganlah kalian mengatakan sesuatu yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah”.

Ahlul bait adalah keluarga Nabi Muhammad SAW dari bani hasyim. Mereka adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat. Kaum muslimin wajib mencintai ahlul bait yang mukmin dan memuliakannya. Namun tidak berarti berlebihan seperti halnya yang dilakukan kaum syiah rafidhah pada sebagian ahlul bait, syiah rafidhah bahkan menganggap beberapa ahlul bait suci, ma’shum (terbebas dari dosa) dan mengetahui perkara gaib. Padahal tidak ada yng menetahui perkara gaib kecuali Allah saja.

Sementara larangan mencela sahabat-sahabat beliau secara umum berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:

”Janganlah kamu mencela sahabat-sahabat ku !, janganlah kamu mencela sahabat-sahabat ku !,Demi Allah yang jiwaku didalam kekuasaannya, jikalau kamu infaqkan emas sebesar gunung Uhud, maka pahala sedekah kamu tidak akan setara sedikitpun  dalam ukuran satu mud atau setengan mud ( dari pahala sedekah mereka )” (HR. Bukhari – Muslim) 

7. Kami mempercayai bahwa orang sekuler dengan berbagai macam golongannya dan madzhabnya seperti komunisme, dan lainnya adalah kekafiran yang nyata (kufur akbar), pembatal keislaman dan mengeluarkan dari agama islam. Kami juga memandang kufurnya semua yang ikut serta dalam amal politik sekuler seperti Partai Matlaq dan Partai Dulaimi dan Partai Hasyimi, dll. Karena dalam amal itu ada perubahan terhadap syariat Allah ta’ala dan memberi kekuasaan musuh dari kalangan Nasrani dan Syiah Rafidhah dan semua orang murtad terhadap leher kaum muslimin (memberi kewenangan musuh dalam membunuhi kaum muslimin). Dan juga sebagaimana kami memandang bahwa manhaj “Partai Islam” (sebuah partai di irak yang mengklaim sebagai islamis tapi mengikuti demokrasi) adalah manhaj kekufuran dan kemurtaddan, tidak berbeda manhajnya dengan seluruh manhaj orang kafir murtad seperti Partai Ja’fari dan Partai Syiah ‘Alawi, oleh karena itu pemimpinnya adalah orang-orang murtad tidak berbeda hukumnya bagi kami antara mereka yang bekerja di pemerintahan atau direktur cabang. Namun kami tidak mengkafirkan seluruh yang masuk didalamnya sebelum tegak baginya hujjah syar’i.

Sekulerisme adalah paham yang memisahkan kehidupan dengan agama, pada prakteknya hal itu terwujud dalam pemisahan agama dan negara. Menurut paham ini, agama tidak boleh mengatur kehidupan umum, agama hanya boleh mengatur kehidupan dalam tempat ibadah dan bersifat personal. Sementara dalam kehidupan umum menggunakan “hukum positif” atau hukum yang dibuat berdasarkan kesepakatan rakyat atau wakil rakyat. Meskipun hal ini populer saat ini, namun tetap saja hal ini adalah paham yang kufur yang wajib dijauhi umat islam.

Islam mengatur hubungan dengan Allah SWT, namun tidak hanya itu saja, islam juga mengatur hubungan sesama manusia dan hubungan dengan dirinya sendiri (akhlak, makanan, dan pakaian). Hubungan dengan Allah terwujud dalam ibadah ritual seperti shalat dan haji. Sementara hubungan sesama manusia terwujud dalam hukum ekonomi, sosial, pergaulan, sanksi, dan pernikahan. Hukum sesama manusia tidak akan terwujud kecuali dengan melibatkan peraturan negara, maka islam dalam prakteknya tidak akan sempurna kecuali dengan negara. Hal ini juga telah dicontohkan oleh rasulullah SAW, dimana beliau membangun negara islam dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah sesudahnya.

Menganut sekulerisme sama saja dengan mengingkari sebagian ajaran islam, hal ini dapat membuat pelakunya jatuh dalam kufur besar. Bagaimana mungkin mereka mengakui ibadah shalat, namun mengingkari perintah hukum potong tangan bagi pencuri. Atau mereka menerima perintah puasa, namun mengingkari haramnya riba. Jelas hal ini adalah kekufuran yang nyata.

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan Kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan Perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (QS. An-Nisa: 150-151) 

Maka kaum muslimin tetap wajib mempelajari islam dengan sungguh-sungguh agar jangan sampai tersesat dan disesatkan oleh pemerintahan kufur ini.

8. Kami memandang kufur dan murtadnya orang yang membantu para penjajah dan antek-anteknya dengan berbagai bentuk bantuan dari pakaian, makanan dan pengobatan, dsb, yang mana hal itu bisa membantu dan menguatkan mereka dan dengan perbuatannya ini, maka dia menjadi target kami dan halal darahnya.

Membantu orang kafir dalam menjajah kaum muslimin adalah kejahatan luar biasa. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa membantu dalam rangka membunuh seorang mukmin dengan separo kalimat saja, ia akan menghadap Alloh, tertulis di antara kedua matanya: Aayisun min rohmatillah… (orang yang berputus asa dari rahmat Alloh)” (HR. Ibnu Majjah)

“Sungguh, hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim” (HR. Ibnu Majjah)

Jika membantu orang kafir dengan kalimat saja diancam dengan mati sebagai orang yang berputus asa dari kalimat Allah (padahal tidak ada yang mati dalam keadaan ini kecuali orang kafir), maka membantu dalam hal yang lebih besar tentu saja lebih terlarang. Misalnya memberi makan, mengobati, atau memberi pakaian pada kafir penjajah maka ini sama saja membantu mereka dalam membunuhi kaum muslimin. Padahal matinya satu nyawa seorang muslim jauh lebih besar perkaranya dibandingkan dunia dan seisinya.

Pada masa penjajahan belanda di negri kita, juga mengenal orang-orang semacam ini yang dikenal sebagai centeng penjajah. Namun hal itu tidak hanya berhenti pada masa itu, setiap orang ataupun lembaga apapun yang membantu penjajah maka hakikatnya dia adalah centeng penjajah yang halal darahnya. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, Padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada Kitab-Kitab semuanya. apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata "Kami beriman", dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan. (QS. Ali Imran: 118-120) 

Imam Ath Thabari ketika menafsirkan ayat ini berkata," Siapa menjadikan mereka sebagai (wali) pemimpin dan sekutu dan membantu mereka dalam melawan kaum muslimin, maka ia adalah orang yang seagama dan se-millah dengan mereka. Karena tak ada seorangpun yang menjadikan orang lain sebagai pemimpinnya kecuali ia ridho dengan diri orang itu, agamanya, dan kondisinya. Bila ia telah ridho dengan diri dan agama walinya itu, berarti ia telah memusuhi dan membenci lawannya, sehingga hukumnya (kedudukan dia) adalah (seperti) hukum pemimpinnya (walinya)." (Tafsir Ath Thabari 6/160)

Penjelasan Imam Ath Thabari ini juga ditegaskan lagi oleh para ahli tafsir lain seperti Imam Al Qurthubi (Al Jami' liahkamil Qur'an 6/217), Asy Syaukani (Fathul Qadir 2/50), Al Qasimi (Mahasinu Ta'wil 6/240) dan Ibnu Hazm (Al Muhala 13/35) , juga disebutkan oleh Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Abdulathif dalam disertasinya, Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal 'Amaliyah, bahwa membantu kafir dalam memerangi umat islam sebagai pembatal keimanan dan penyebab kemurtadan

9. Kami memandang bahwa jihad di jalan Allah adalah fardhu ‘ain (kewajiban penuh setiap individu) sejah jatuhnya negri Andalusia. Hal ini utuk membebaskan negri kaum muslimin dan jihad terlaksana bersama orang baik maupun fajir, dan dosa paling besar setelah kufur kepada Allah adalah melarang jihad di jalan Allah pada masa fardhu ‘ain.

Sebagian umat islam mungkin lupa, atau memang tidak tahu, tentang sejarah Andalusia. Andalusia (saat ini Spanyol) pernah menjadi peradaban islam yang gemilang. Namun kafir eropa dengki dengan kemajuan Andalusia, yang mana mereka tidak bisa membuat peradaban yang sehebat itu. Kafir eropa menyerang Andalusia dan membantai habis umat islam disana, hingga tidak tersisa kecuali hanya puing-puing yang menjadi saksi bisu megahnya peradaban islam.

Peristiwa tersebut tidak akan terlupakan bagi kaum muslimin, terutama bagi kaum mujahid. Peristiwa itu menjadi pelajaran telak bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha terhadap umat islam, di dalam hatinya terdapat kedengkian yang luar biasa. Allah SWT berfirman:

"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. Al-Baqarah: 120)

Sementara penjelasan mengapa jihad menjadi fardhu ‘ain telah kita bahas di bab yang lalu. Bahwa jika kaum kafir harbi telah memasuki negri kaum muslim, maka jihad menjadi wajib hingga kaum kafir tersebut terusir dari negri tersebut. Sementara hingga buku ini ditulis, Andalusia tetap dalam cengkraman kaum kafir, dan belum ada yang mampu membebaskannya, bahkan semakin banyak negri kaum muslimin yang jatuh ke tangan kafir penjajah, seperti Afghanistan, Palestina, Somalia, dan secara hakikinya seluruh negri kaum muslim saat ini sedang dijajah baik secara militer maupun secara ekonomi dan hukum. Maka kewajiban jihad ini berlaku kepada seluruh individu kaum muslimin, agar dapat membebaskan seluruh negri muslim dari penjajahan kafir.

10. Kami meyakini sebuah daerah jika bergantung kepada syariat kufur dan mayoritas di dalamnya adalah hukum kufur, bukan hukum islam, maka itu adlaah darul kufur (daerah kufur), tapi ini tidak melazimkan kami untuk mengkafirkan penduduk daerah tersebut dan sebagaimana kebanyakan negri kaum muslimin hari ini berhukum pada Thaghut dan syariatnya. Maka kami memandang kufur semua penguasanya dan tentaranya dan memeranginya lebih wajib daripada memerangi penjajah salibis. Maka dari itu harus kami ingatkan semua kekuatan yang menyerang Daulah Islam, walaupun mereka memakai nama arab dan nama islam. Kami menasihati mereka dan kami ingatkan supaya jangan menjadi domba tebusan bagi para penjajah, sebagaimana yang terjadi di Irak.

Darul islam adalah daerah islam, dimana didalamnya masyarakat islam dan berlaku hukum islam. Syeikh Taqiyuddiin An Nabhani dalam mafahim Hizbit Tahrir menyatakan definisi darul islam: “daerah yang menerapkan sistem Islam, menegakkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dan keamanannya ada di tangan Islam, dinamakan Darul Islam, meskipun mayoritas penduduknya nonmuslim. Sedangkan daerah yang tidak memenuhi dua karakter tadi, dinamakan Darul Kufur, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam”. Beliau secara tegas juga menyatakan dalam kitab As-Syakhsiyyah Islamiyyah: “maka sesungguhnya seluruh negeri-negeri Islam sekarang ini (saat beliau menulis kitab ini) merupakan Darul Kufur, karena negeri-negeri tersebut tidak berhukum dengan hukum Islam”.

Wahbah Az Zuhaili dalam kitab Atsarul Harb fil Islam menuturkan: “seluruh wilayah yang tercakup dalam kekuasaan Islam di dalamnya diterapkan hukum-hukumnya dan ditegakkan syariat-syariatnya maka telah menjadi Darul Islam, kaum muslimin wajib mempertahankannya ketika ia diserang sebagai kewajiban kifayah sesuai kebutuhan, namun (jika sebagian saja tidak mencukupi) maka menjadi fardhu ‘ain”

Abdul Wahhab Kholaf dalam buku Politik Hukum Islam, hal. 82, mengutip ungkapan sebagian fuqoha, bahwa Darul Islam adalah “wilayah yang didalamnya berlaku hukum-hukum Islam dan orang yang ada di dalamnya mendapatkan keamanan dengan kemamanan Islam, baik mereka itu muslim maupun dzimmi”

Abdul Karim Zaidan dalam kitab Ahkamudz Dzimmiyyin wal Musta’minin fi Daril Islam, hal. 
19, menambahkan “Syarat paling penting untuk menggolongkan suatu wilayah menjadi Darul Islam ditinjau dari kenyataan bahwa wilayah itu diperintah oleh umat Islam di bawah kedaulatan dan kekuasaan mereka, dan hukum yang tampak di dalamnya adalah hukum Islam. Dan tidak disyaratkan bahwa wilayah itu harus dihuni oleh umat Islam selama ia masih di bawah kekuasaan mereka. Dalam hal ini Imam Ar Rofi’i menuturkan “Darul Islam tidak disyaratkan harus dihuni oleh umat Islam, akan tetapi yang penting ada di bawah kekuasaan Imam dan Islam”

Dalam konteks inilah, Kholid bin Walid menyatakan dalam suratnya, sebagaimana ditulis Abu Yusuf dalam kitab Al Khoroj, hal. 144:

“Dan saya tetapkan bagi mereka, barang siapa yang sudah tua dan tidak mampu bekerja, atau tertimpa musibah, atau asalnya kaya kemudian miskin, maka orang-orang yang seagama dengannya memberi shodaqoh untuknya, sementara pembayaran jizyahnya dibebaskan, dan nafkahnya ditanggung oleh Baitul Mal begitu pula keluarganya, itu selama orang tersebut masih bermukim di Darul Hijrah dan Darul Islam, namun apabila ia keluar dari darul Hijrah dan darul Islam, maka kaum muslimin tidak berkewajiban memberi belanja dan nafkah keluarga mereka”

Jelas melalui ungkapan di atas, bahwa yang dimaksud Darul Islam oleh Kholid bin Walid radhiyallahuanhu adalah daerah yang dikuasai oleh Islam dan diatur dengan hukum Islam. Sebab, siapa saja yang ada di sana menjadi tanggung jawab negara untuk mengurusinya. Akan tetapi, apabila dia keluar dari wilayah tersebut, maka dia sudah di luar jangkauan hukum dan kekuasaan Islam.

Adapun Darul Harb, Az Zuhaili dalam kitab Atsarul Harb, Hal, 170, mendefinisikannya sebagai “wilayah yang di dalamnya tidak diterapkan hukum Islam, baik sebagai hukum agama maupun politik, karena letaknya yang ada di luar wilayah kekuasaan Islam”

Abdul Wahhab Kholaf, dalam buku Politik Hukum Islam, hal. 82, menukil pernyataan sebagian fuqoha, bahwa Darul Harb adalah “daerah yang tidak diberlakukan hukum-hukum Islam, dan penduduknya tidak dilindungi dengan keamanan Islam”

Secara umum, daerah yang tidak menerapkan syariat islam secara kaffah adalah darul kufur atau darul harb. Namun hal itu tidak berarti meuduh seluruh umat islam yang ada didalamnya menjadi kafir, sebab Nabi Muhammad SAW selama periode makkah tinggal di makkah yang saat itu berstatus sebagai darul kufur. Nabi Muhammad SAW dan para sahabat juga pernah hijrah ke habasyah yang saat itu juga masih darul kufur, artinya tinggalnya seorang muslim di daerah kufur tidak menjadikan dirinya murtad, kecuali dia ridha terhadap penerapan hukum-hukum kufur itu.

Konsekuensinya umat islam yang tinggal di darul kufur wajib berjuang agar menjadikan wilayahnya menjadi darul islam. Perjuangan ini adalah bentuk nyata ketidakridhaan terhadap hukum kufur yang berlaku di wilayah tersebut. Status kufur hanya jatuh kepada orang yang ridha terhadap diterapkannya hukum kufur seperti Penguasa, pembuat kebijakan, dan seluruh pihak yang turut serta dalam pembuatan dan pelaksanaan hukum kufur seperti eksekutif, legislatif, polisi, hakim, tentara, dll. 

11. Kami memandang wajib memerangi polisi dan tentara negara thaghut dan murtad, dan cabang-cabangnya seperti penjaga pertambangan, dsb, dan kami memandang wajib menghancurkan bangunan dan yayasan yang kami ketahui mana thaghut menjadikannya sebagai tempat mereka.

Memerangi setiap pihak yang membantu thaghut sudah jelas diketahui akan kewajibannya. Dengan tangan merekalah thaghut makin menancapkan kekuasaannya, dan ditangan merekalah hukum kufur terus berjalan meski ditolak oleh umat islam. Maka setiap muslim yang menjadi kaki-tangan thaghut, baik dalam hal kemananan (seperti tentara, polisi, intelijen), keuangan (seperti penarik pajak, pegawai tambang, dll), dan hal yang lainnya  wajib keluar karena dengan mendukung mereka sama saja telah mendukung tegaknya hukum kufur, yang bisa mengeluarkan pelakunya dari islam. 

Hal ini telah dicontohkan oleh Abu Bakar Asshiddiq radhiyallahuanhu ketika menjadi khalifah, beliau dengan tegas memerangi orang yang menolak membayar zakat. Meskipun mereka melaksanakan shalat, puasa, haji, dll namun jika mereka menolak membayar zakat maka diperangi. Jika menolak satu hal saja maka bisa diperangi, maka yang terjadi hari ini jauh lebih parah dari itu, dimana bukan hanya zakat, namun seluruh hukum islam tidak diterapkan kecuali hanya aspek privat semata seperti pernikahan, waris, dan haji.

Penguasa di negri-negri islam malah menerapkan hukum pengganti yang dibuat oleh manusia. Padahal jelas bahwa hukum tersebut membawa kerusakan. Maka penguasa dan antek-anteknya yang bertindak lebih jauh dari itu, lebih wajib diperangi oleh khilafah. 

12. Kami memandang bahwa Ahul Kitab dan Shabiah dan yang lainnya yang berada di Daulah Islam hari ini adalah kafir harbi (kafir yang diperangi) karena telah melanggar perjanjian yang sangat banyak, namun jika mereka mau selamat dan aman, maka harus bagi mereka membuat perjanjian baru dengan Daulah Islam dengan syarat sebagaimana dalam perjanjian yang (pernah) mereka langgar.

Dalam wilayah daulah islam memang tidak mengharuskan seluruh penduduknya masuk islam. Kaum kafir bisa tinggal disana dan dijaga keamanannya, namun dengan syarat mematuhi perjanjian. Ketika perjanjian telah dilanggar maka mereka akan kembali statusnya sebagai kafir harbi, dan merupakan kebijakan khalifah apabila menerima perjanjian mereka kembali atau menolaknya. Mengenai perjanjian dengan kabilah kafir telah banyak ditulis dalam sirah nabawiyyah, Nabi SAW telah menjalin perjanjian dengan kabilah-kabilah yahudi di Madinah.

Ketika terjadi pelanggaran oleh pihak yahudi maka Rasulullah SAW pun memerangi mereka, ada diantara mereka yang diusir dan ada yang dieksekusi semuanya. Semua itu merupakan kebijakan beliau dengan melihat besar kecilnya pelanggaran. Begitu pula yang dilakukan oleh Daulah Islam saat ini, dengan memberi kesempatan kepada kafir di wilayahnya sekali lagi merupakan kebijakan beliau yang wajib kita hormati.

13. Kami memandang bahwa para anggota jamaah jihad di lapangan (selain daulah islam) adalah saudara kami dalam islam dan kami tidak menuduh mereka dengan kekufuran dan kefajiran, hanya saja mereka bermaksiat karena berpaling untuk berjihad bersama dibawah satu bendera (Daulah Islam).

Pernyataan ini membantah sebagian tuduhan yang dialamatkan kepada Daulah Islam, yaitu tuduhan bahwa Daulah Islam mengkafirkan jamaah jihad lain yang tidak berbaiat kepada Khalifah. Berbaiat kepada Khalifah adalah wajib, sebagaimana telah dijelaskan, namun tidak berbaiatnya seorang muslim tidak menjadikan dirinya kafir, hanya saja berdosa. Inilah yang dianut oleh Daulah islam.

Daulah Islam telah mengeluarkan penjelasan tentang kewajiban seluruh jamaah islam agar menyatukan dirinya bersama Daulah Islam. Penjelasan inipun disambut oleh banyak sekali kelompok-kelompok diberbagai penjuru dunia dengan pernyataan baiat kepada Khalifah Abu bakar Albagdady.  Namun masih ada sebagian kelompok yang enggan untuk berbaiat dengan berbagai macam alasan, mereka tetap dianggap saudara oleh Khalifah dan tidak menilai mereka sebagai jamaah kafir dan fajir.

14. Setiap jamaah atau orang yang membuat perjanjian dengan penjajah yang memerangi kita maka perjanjian itu tidak berlaku bagi kami sedikitpun. Bahkan itu adalah bathil dan tertolak maka kami peringatkan para penjajah untuk membatalkan setiap perjanjian yang rahasia maupun yang nampak tanpa izin dari Daulah Islam.

Daulah Islam menegaskan bahwa jamaah jihad lain agar tidak turut serta membantu penjajah dengan membuat perjanjian dengan mereka. Perjanjian tersebut sama sekali tidak dianggap oleh Daulah Islam alias tidak beraku atas Daulah Islam. Perjanjian dengan negara kafir penjajah (kafir harbi fi’lan) selama mereka masih aktif dalam memerangi kaum muslimin adalah haram mutlak, haram menjalin hubungan apapun dengan mereka kecuali hanya perang. 

15. Kami memandang bahwa wajib menghormati ulama yang beramal lagi jujur dan bersatu dengannya dan menolongnya pada setiap permasalahannya dan kami singkap siapa saja yang berjalan di jalan Thaghut dan berkompromi dengan mereka dalam urusan agama Allah.

Daulah Islam menghormati Ulama-ulama diseluruh penjuru dunia selama mereka jujur dalam berfatwa dalam agama. Adakalanya sebagian Ulama lebih memilih menjadi pembela thaghut, inilah Ulama su’ atau Ulama jahat. Ulama jenis ini biasanya menjadi kaki-tangan penguasa yang tidak menerapkan syariat, mereka mengeluarkan fatwa yang dengannya penguasa kufur tetap langgeng kekuasaannya. Ulama su’ menyembunyikan kebenaran padahal hal tersebut diketahuinya, padahal Allah SWT mengancam dengan sangat keras orang yang menyembunyikan kebenaran.

"Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati (QS. Al-Baqarah: 159)

Rasulullah SAW sangat mengkhawatirkan jika para Ulama dan Umara justru malah menyesatkan, padahal mereka adalah pembimbing umat. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya yang aku khawatirkan terhadap umatku tiada lain adalah para pemimpin yang menyesatkan." (HR. al-Darimi dalam Shahihnya dari haidts Tsauban, Imam Abu Dawud al-Thayalisi dari hadits Abu Darda') 

Rasulullah SAW juga bersabda: “Akan muncul di akhir zaman orang-orang yang mencari dunia dengan agama. Di hadapan manusia mereka memakai baju dari bulu domba untuk memberi kesan kerendahan hati mereka, lisan mereka lebih manis dari gula namun hati mereka adalah hati serigala (sangat menyukai harta dan kedudukan). Allah berfirman, “Apakah dengan-Ku (kasih dan kesempatan yang Kuberikan) kalian tertipu ataukah kalian berani kepada-Ku. Demi Diriku, Aku bersumpah. Aku akan mengirim bencana dari antara mereka sendiri yang menjadikan orang-orang santun menjadi kebingungan (apalagi selain mereka) sehingga mereka tidak mampu melepaskan diri darinya.” (HR. Tirmidzi)
Di Hadits lain: “Barangsiapa yang mencari ridha Allah dengan (resiko mendapat) murka manusia, maka Allah mencukupinya dari manusia. Dan barangsiapa mencari ridha manusia dengan (menyebabkan) kemurkaan Allah, maka Allah menyerahkan dirinya kepada manusia.” (HR. Tirmidzi, no. 2419)

16. Kami mengakui hak orang yang mendahului kami dalam jihad dan kita letakkan mereka pada kedudukannya. Kita beri kebaikan sepeninggalannya pada keluarga dan hartanya.

Menghormati para pendahulu dalam jihad dan memenuhi hak-hak keluarga yang ditinggalkannya adalah sikap yang mulia. Sikap ini sesuai dengan tuntunan rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda dari Zaid bin Khalid RA:

“Barangsiapa menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Allah, maka ia telah berperang. Dan barangsiapa menjaga dengan baik keluarga orang yang berperang, maka ia telah berperang” (Muttafaq ‘Alaih)

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: "Orang yang bekerja (memenuhi kebutuhan) bagi janda-janda dan orang miskin itu sebagaimana Mujahid di jalan Alloh atau orang yang menegakkan (sholat) di malam hari dan shaum di siang hari." (Muttafaq 'alaih, Shohihuil Jami' no. 3574)

Ketika seorang mujahidin syahid tentu meninggalkan istrinya sebagai janda dan anaknya sebagai yatim. Rasulullah SAW bersabda:

“Aku dan pemelihara anak yatim kelak di surga kedudukannya seperti dua jari ini.” Rasulullah SAW bersabda demikian sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya dengan merapatkan keduanya” (HR Bukhari)

Bahkan rasulullah SAW mengancam umatnya yang tidak membantu keluarga mujahidin, beliau SAW bersabda: "Barangsiapa yang tidak pergi berjihad, tidak mendanai seorang Mujahid, atau mengurus keluarga seorang Mujahid, akan mengalami bencana sebelum ia meninggal." (Abu Dawud)

17. Kami memandang wajib membebaskan tawanan dan perempuan muslim dari tangan musuh dengan perang atau tebusan.

Kewajiban membebaskan tawanan muslim ada dipundak setiap umat islam. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah SWT:

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan Kami, keluarkanlah Kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah Kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah Kami penolong dari sisi Engkau!"(QS. An-Nisa: 75)
Allah SWT bertanya kepada kita yang tidak mau berperang, padahal ada kaum muslim yang sampai saat ini ditawan musuh. Penjara-penjara thaghut penuh sesak dengan pejuang syariah, tidak sedikit diantaranya adalah wanita. Sampai buku ini ditulis banyak sekali muslimah yang dibunuh, dibantai, diperkosa di Palestina, Suriah, Irak, Xinjiang, Burma, dll. Maka memang sudah menjadi kewajiban kita semua, dan bagi Khilafah hal itu lebih wajib lagi.

18. Kami memandang wajibnya mengajarkan kaum muslimin perkara agama mereka walaupun kehilangan sebagian harta dunia dan kita wajibkan pula mengajarkan ilmu dunia jika umat membutuhkannya selama hukumnya mubah dan tidak keluar dari batasan syar’i.

Pendidikan Daulah Islam menegaskan bahwa mereka mengutamakan ilmu islam dibanding ilmu dunia. Namun hal ini bukan berarti Daulah Islam meninggalkan ilmu dunia, bahkan mewajibkannya jika memang sedang diperlukan. Penguasaan ilmu dunia bisa menjadi wajib tatkala hanya dengan itu suatu syariah bisa ditegakkan. Maka pendidikan dokter, ilmu kimia, biologi, teknologi informasi, bisa diwajibkan oleh Daulah Islam karena ilmu-ilmu tadi sangat diperlukan.  

19. Kami memandang haramnya setiap mengajak kepada kemaksiatan dan yang segala hal yang memudahkan maksiat. Kami wajibkan perempuan secara syar’i untuk menutup wajahnya, menjauhi membuka aurat serta bercampur baur dengan laki-laki dan mengharuskan kesucian pada dirinya.

Daulah Islam menutup pintu kemaksiatan serapat-rapatnya hingga mewajibkan penggunaan cadar kepada kaum muslimah. Hal ini mungkin tidak disetujui oleh sebagian umat islam, karena memang hukum memakai cadar bagi muslimah terdapat perbedaan pendapat. Namun hal ini tidak berarti bahwa orang bisa seenak hati melanggar perintah Khalifah, sebab Khalifah berhak mengangkat perbedaan dengan ijtihadnya dan memilih satu pendapat yang diadobsi. Jika Khalifah mengadobsi bahwa hukum memakai cadar bagi wanita adalah wajib, maka hal ini wajib diikuti oleh seluruh muslimah.
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti." (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud) 

Didasarkan pada Ijma’ Shahabat yang melahirkan kaidah syar’iyah yang termasyhur: “Perintah Imam [khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat”. Juga kaidah syar’iyah lain yang tak kalah masyhur: ”Imam [khalifah] berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi”.

“Khalifah mempunyai hak melakukan adopsi (tabanni) hukum syariah Islam dan melegislasikannya menjadi undang-undang yang berlaku mengikat bagi publik. Adopsi ini dilaksanakan Khalifah jika terdapat khilafiyah dalam hukum syariah hasil ijtihad. Maka ketika Khalifah memilih satu pendapat, rakyat wajib menaatinya sehingga perbedaan pendapat tidak ada lagi. Kaidah fiqih menyebutkan : Amru al-imam yarfa’u al-khilaf fi al-masa`il al-ijtihadiyah (Perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah hasil ijtihad/khilafiyah)”. (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah al-Syar’iyah, III/1797; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, I/268)

Sedangkan menutup pintu kemaksiatan, hal ini jelas wajib. Sebab seluruh perantara kepada kemaksiatan maka itu wajib ditutup sesuai denga kaidah-kaidah syar’iyyah: “Menutup segala pintu kemaksiatan”. Maka pintu maksiat seperti pacaran, khalwat atau berdua-duaan lawan jenis yang belum halal dan ikhtilath campur baur laki-laki dan perempuan adalah perantara menuju kemaksiatan besar (Zina), maka hal-hal diatas wajib dilarang oleh Daulah Islam. Hal ini tentu saja berbeda dengan negara demokrasi (yang menjamin kebebasan individu dalam berekspresi sesuai dengan kemauannya asalkan tidak mengganggu orang lain), sebab demokrasi lahir dari pemikiran orang kafir sementara islam hanya mengacu pada dalil syar’iyyah. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar