Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Keabsahan Jihad Tanpa Khilafah

Jihad adalah berperang di jalan Allah. Tidak ada makna lain selain makna tersebut. Adapun sebagian orang menganggap bahwa jihad bisa saja tanpa perang, misalnya mengartikan jihad dengan “bersungguh-sungguh” sehingga orang yang bersungguh-sungguh dalam bekerja dianggap telah berjihad dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dianggap berjihad, maka ini adalah pendapat yang salah. Pengertian jihad adalah perang di jalan Allah telah disepakati oleh ulama salafus shalih dari berbaghai madzhab.



“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri]. Kobarkanlah semangat Para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah Amat besar kekuatan dan Amat keras siksaannya” (QS. Annisa: 84)



“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur (alasan syar’i) dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang” (QS. Annisa: 95)



"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar." (QS. Attaubah: 111)

Masih banyak lagi ayat di dalam Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa berjihad adalah berperang di jalan Allah. Ini menunjukkan bahwa jihad adalah berperang di jalan Allah. Tidak ada makna lain selain itu.

Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’ as-Shanaa’i’:
 “Secara literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan… sedangkan menurut pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain”
Adapun definisi jihad menurut mazhab Maliki, seperti yang termaktub di dalam kitab Munah al-Jaliil:

“Jihad adalah perangnya seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk berperang”

Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan:
 “Berperang di jalan Allah”. 
Sedangkan madzhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab al-Mughniy, karya Ibnu Qudaamah, menyatakan, bahwa:

“Jihad yang dibahas dalam kitaab al-Jihad tidak memiliki makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam”

Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata: Ribath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. Beliau juga mengatakan: 

“Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya”

Maka dapat disimpulkan bahwa jihad adalah berperang di jalan Allah. Sebagian orang berhujjah dengan menggunakan hadits yang mengatakan bahwa jihad perang adalah “jihad kecil” sementara jihad besar adalah jihad “melawan hawa nafsu”. Ini adalah pendapat yang tertolak sebab hadits tersebut berstatus lemah.
Hadits tersebut (yang sering digunakan dalil untuk jihad hawa nafsu) dalam redaksi lengkapnya sebagai berikut:

“Datang kepada Rasulullah SAW orang-orang yang baru selesai berperang. Lalu Rasulullah berkata: “Kalian menuju kepada tujuan yang terbaik. Kalian menuju dari dari jihad yang lebih kecil kepada jihad yang lebih besar.” Mereka bertanya: “Apa itu jihad yang lebih besar?” Nabi menjawab: “Perjuangan seorang hamba melawan hawa nafsunya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di dalam kitab Az Zuhd (384) dan Al Khathib Al Baghdadi di dalam kitab Tarikh Baghdad (6/171) dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu.
Di dalam sanad hadits ini diriwayatkan dari jalur Isa bin Ibrahim dari Yahya ibnul ‘Ala` (atau bin Ya’la) dari Laits bin Abi Sulaim. Isa bin Ibrahim adalah seorang yang jujur tapi sering keliru (shaduq rubbama wahima), Yahya ibnul ‘Ala` (atau bin Ya’la) adalah seorang pendusta, dan Laits bin Abi Sulaim dilemahkan karena telah mengalami gangguan ingatan . Adapun Imam An Nasa`i di dalam kitab Al Kuna meriwayatkan hadits ini sebagai ucapan dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah, bukan sebagai hadits dari Nabi.

Hadits ini dinilai lemah oleh Al Iraqi di dalam kitab Takhrij Ihya`i ‘Ulumiddin (2/6) . Sedangkan Syaikh Al Albani rahimahullah di dalam kitab As Silsilah Adh Dha’ifah wal Maudhu’ah (5/478) menilai hadits ini adalah hadits munkar.

Hadits Jabir di atas menerangkan bahwa jihad berperang di jalan Allah adalah sebagai jihad yang kecil, sedangkan melawan hawa nafsu adalah jihad yang lebih besar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata sebagaimana di dalam Majmu’ul Fatawa (11/197): “Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sebagian orang bahwasanya beliau (Nabi) berkata pada perang Tabuk: “Kita telah kembali dari jihad yang lebih kecil kepada jihad yang lebih besar” maka ini adalah hadits yang tidak ada asal-usulnya dan tidak pernah diriwayatkan oleh seorang ahli ma’rifat (hadits) pun sebagai suatu perkataan Nabi SAW atau pun perbuatannya”.

Bentuk Jihad

Ada dua keadaan dimana hal tersebut mewajibkan kaum muslimin untuk berjihad. Keadaan tersebut adalah:

1. Ketika khalifah telah memutuskan untuk menaklukkan sebuah negri maka kaum muslimin diwajibkan berjihad. Jihad dalam keadaan ini berhukum fardhu kifayah,  artinya selama kekuatan dalam menaklukkan suatu negri tersebut masih kurang maka kaum muslimin menanggung kewajiban jihad ini. Maka jihad jenis ini bisa kita namakan sebagai jihad offensif.

2. Ketika musuh islam telah masuk menyerang ke dalam negri islam, maka wajib kaum muslimin untuk berjihad melawannya. Kewajiban ini lebih tinggi daripada kewajiban jihad offensif, karena statusnya menjadi fardhu ain, artinya seluruh individu umat islam wajib mengangkat senjata melawan musuh sampai musuh kalah dan terusir  dari negri islam. Maka jihad jenis ini bisa kita namakan sebagai jihad deffensif.

Jihad offensif wajib bersama khalifah, sebab jihad jenis ini adalah dalam rangka untuk memperluas wilayah khilafah itu sendiri. Jihad offensif bisa dilancarkan kepada negara kafir yang tidak ada perjanjian, baik dengan sebab mereka menghalangi dakwah atau bahkan tanpa sebab sama sekali. Jihad jenis ini hanya menawarkan tiga pilihan kepada negri yang akan diserang yaitu:

1. Masuk islam. Artinya mereka menerima islam dan siap dipimpin dengan syariat islam.
2. Tetap pada agamanya namun membayar jizyah dalam keadaan tunduk. Artinya mereka meski masih boleh menganut agamanya namun mereka tetap tunduk dibawah syariat islam dan mereka wajib membayar jizyah.
3. Diperangi. Artinya negri yang tidak mau memilih antyara dua opsi diatas maka tiada opsi lain kecuali diperangi.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, dari sahabat Buraidah bin Husaib Al-Aslami radiyallahu ‘anhu :

“Adalah Rasulullah SAW jika mengangkat seorang amir (komandan) atas suatu pasukan atau sariyah, beliau memberinya wasiat secara khusus supaya bertaqwa kepada Allah Ta’ala, dan memperlakukan pasukannya dengan baik. Beliau lantas bersabda,” Berperanglah dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah! Berperanglah, janganlah mencuri harta rampasan perang sebelum dibagi, jangan membatalkan perjanjian secara sepihak, jangan mencincang mayat musuh, dan jangan membunuh anak-anak! Jika kamu menemui musuh dari orang-orang musyrik, maka serulah mereka kepada salah satu dari tiga pilihan, pilihan mana saja yang mereka pilih maka terimalah dan tahanlah dirimu dari (menyerang) mereka. Serulah mereka kepada Islam. Jika mereka memenuhi seruanmu, maka terimalah dan jangan memerangi mereka. Lalu serulah mereka untuk berhijrah dari negeri mereka ke negeri hijrah, dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka melakukannya maka mereka memiliki hak seperti hak orang-orang yang berhijrah (muhajirin) dan mereka mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban kaum muhajirin. Kalau mereka menolak maka serulah mereka untuk membayar jizyah. Kalau mereka menyetujui maka terimalah dan janganlah menyerang mereka. Kalau mereka menolak maka memohonlah pertolongan kepada Alllah Ta’ala dan perangilah mereka.”  (HR. Muslim)

Sedangkan jihad deffensif, maka hal ini wajib meski tiada khilafah. Sebab kewajiban ini adalah kewajiban individu dan segera. Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata :

“Dan adapun jihad untuk membela diri, membela kemuliaan umat Islam dan agamanya dari serangan musuhnya adalah seutama-utama kewajiban jihad.  Yang kewajiban itu merupakan ijma’ ulama.  Dan tidak ada kewajiban dalam Islam setelah kewajiban beriman, yang lebih utama dari dari kewajiban membela agama dan umat Islam dari serangan musuhnya yang merusak agama maupun kehidupan umat Islam.  Maka dalam jihad sepert ini tidak disyaratkan lagi perbekalan atau kendaraan bagi para mujahid untuk ikut berperang.  Bahkan diwajibkan kepada para mujahid tersebut untuk menghadapi serangan tentara kafir itu dengan kekuatan yang seadanya pada dirinya, dan sungguh telah diriwayatkan bahwa para ulama juga berpendapat seperti itu baik ulama dari  kalangan kita maupun lainnya.”

Ibnu Abidin dari Madzhab Hanafi berkata dalam kitab Hasyiyah Ibnu Abidin (3/238):

“Adalah fardhu ‘ain jihad itu, bila musuh telah menyerang sebagiaan dari wilayah Islam, atas penduduk yang berdekatan dengan wilayah tersebut. Adapun penduduk yang jauh dari wilayah tersebut adalah fardhu kifayah, kalau mereka tidak diperlukan untuk pembelaan wilayah yang diserang tersebut. Adapun kalau penduduk yang berjauhan dengan wilayah tersebut diperlukan untuk membantu mengusir penyerang, karena penduduk yang berdekatan dengan wilayah tersebut tidak mampu mengusir musuh dari wilayahnya atau penduduk wilayah tersebut malas untuk berjihad, maka kewajiban jihad itu menjadi fardhu ‘ain atas penduduk yang lebih jauh dari wilayah tersebut.  Dan bila mereka juga tidak mampu, maka fardhu ‘ain atas penduduk yang lebih jauh lagi dan demikian seterusnya sampai kewajiban jihad itu menjadi fardhu ‘ain atas segenap umat Islam di timur maupun di barat untuk membela wilayah yang diserang itu dengan tahapan-tahapan sebagai mana yang dijelaskan di atas.”

Adapun Madzhab Maliki, Dalam kitab Hasyiyatud-Dasuki (2/174) terdapat keterangan seperti ini:

“Dan jihad itu wajib karena serangan mendadak musuh Islam.  Ad Dasuqi mengatakan: wajib jihad atas setiap muslim laki-laki maupun wanita untuk menghadapi musuh yang menyerang mendadak dan bahkan juga terhadap anak kecil.  Walaupun pemilik budak melarang budaknya, suami melarang istrinya, dan pemberi hutang melarang orang yang dihutanginya tetap saja kewajiban itu tidak bisa gugur atas orang-orang tersebut dengan larangan itu”

Sedangkan dari Madzhab Syafi’i, Dalam kitab Nihayatul Muhtaj Ar Ramli (8/58) menerangkan:

“Kalau orang kafir itu sudah masuk ke negeri kita, dan jarak antara kita dengan mereka tidak ada lagi, yaitu sejauh perjalanan yang kita boleh mengqashar shalat, maka penduduk negeri tersebut wajib jihad membela wilayah tersebut dari serangan musuh. Dan kewajiban ini berlaku juga bagi mereka yang asalnya tidak wajib perang seperti orang fakir, anak-anak, hamba sahaya, orang yang terlibat hutang dan wanita.”

Madzhab Hambali, Dalam kitab Al Mughni (8/345), Ibnu Qudamah menerangkan:

“Dan jihad itu wajib dalam tiga keadaan:
a.       Apabila barisan tentara muslimin bertemu dengan barisan tentara kafirin di medan perang.
b.      Apabila orang kafir masuk ke negeri yang penduduknya diwajibkan memerangi orang kafir itu (yakni penduduk negeri yang Islam)
c.       Bila imam kaum muslimin mengeluarkan perintah jihad.”
Maka dapat disimpulkan bahwa jihad dalam keadaan musuh menyerang negri islam adalah wajib dan jihad yang dilakukan adalah jihad yang sah. Mari kita lihat kondisi saat ini, dimana kaum muslimin di berbegai penjuru dunia diserang oleh orang kafir. Afghanistan dan irak diserang oleh kafir Amerika Serikat dan sekutunya. Palestina diserang oleh kafir Zionis Yahudi. Yaman dan irak diserang oleh kafir syiah imamiyyah. Kashmir diserang oleh musyrik India. Bahkan yang pernah terjadi di negri kita yaitu penyerangan kepada muslim di Poso oleh kafir kristen. Tidak usah disebutkan satu persatu tentang kasus penyerangan terhadap kaum muslimin di seluruh dunia, kita semua pasti tau bahwa beginilah keadaan kita sekarang.

Maka jihad pada saat ini telah jatuh dalam fardhu ‘ain (kewajiban individu), dimana kaum muslimin wajib mengangkat senjata untuk melawan kafir yang memerangi umat islam seperti Amerika Serikat dan sekutunya, Zionis Israel, Syiah imamiyyah, Cina, India, Filipina, Thailand, dan seluruh pihak yang terlibat dalam memerangi umat islam meskipun itu adalah khadimul haramain (penjaga masjidil haram dan masjid nabawi) seperti rezim kerajaan Saudi yang menyediakan pangkalan perang AS dalam membantai satu juta muslim di Irak dan menangkapi mujahidin. 

Pembentukan Jamaah Jihad

Apabila sudah diketahui tentang jatuhnya kewajiban atas setiap individu umat dalam berjihad melawan setiap pihak yang memerangi kaum muslimin. Maka bahasan berikutnya adalah, bagaimana hukum membentuk jamaah jihad. Sesungguhnya yang paling ideal bagi kaum muslimin adalah menegakkan khilafah dan berjihad bersama khalifah, namun hal ini akan memperlama mulainya jihad jika kondisi tidak memungkinkan karena setiap negri kaum muslimin telah dikuasai oleh kafir dan antek-anteknya. 

Pembentukan jamaah jihad adalah sah, sebab jihad membutuhkan penyusunan strategi, taktik, koordinasi yang semua itu hanya bisa diwujudkan jika dalam keadaan berjamaah. Telah masyhur kaidah ushul yang berbunyi: “Suatu kewajiban jika hanya bisa terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib”. Seperti halnya wudlu yang hukumnya sunnah, namun ketika hendak shalat sementara berhadats kecil, maka wudlu menjadi wajib sebab tidak sah shalat jika tanpa berwudlu terlebih dahulu. Begitu pula dengan pembentukan jamaah jihad.

Selain itu pembentukan jamaah jihad juga mengamalkan hadits: “Jika kalian bepergian bertiga, angkatlah salah seorang sebagai pemimpin.” (HR Abu Dawud). Jika dalam perjalanan saja wajib mengangkat salah seorang sebagai pemimpin, maka dalam hal yang lebih besar tentu lebih wajib. Dalam hal ini adalah membentuk jamaah jihad dimana disana ditetapkan seorang pemimpin untuk mengatur anggotanya dalam pelaksanaan amaliyah jihad.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar